Info Lengkap Novel Rania
Baca: Part1 - Part2 - Part3 - Part4 - Part5

Part6 - Part7 - Part8 - Part9 - Part10

Perempuan itu sadar betul belum waktunya rasa itu hadir. Tetapi ia tidak kuasa mencegah. Bagai virus yang menyebar melalui aliran darah. Nama Laki-laki itu terukir jelas, bukan hanya di pikiran, tapi juga hatinya.
Semua hanya dapat ia adukan kepada Sang Pemilik Cinta. Rasa ini begitu kuat tertancap. Meyiksanya dengan sangat. Hanya sedan pada sujud panjang di sepertiga malam yang menjadi penawar.

*
“Ya Allah, penggenggam hati manusia, Engkau Maha Tahu, betapa hamba berusaha melepaskan diri dari bermaksiat kepada-Mu. Tapi iman goyah. Kuatkanlah, ya Rabb, kuatkanlah,” bisik laki-laki itu. “Ambil rasa ini dari hatiku, cabut sampai ke akarnya hingga tidak bersisa.”

**
Apakah benar hati bisa melupakan begitu saja?
Akankah masing-masing mendapatkan apa yang diinginkan?
Ketika hati ikhlas dan berserah, pilihan-Nya menjadi yang terbaik

Novel Rania Part 1






Bab 1 Lantunan dari Surga
.
“Hai orang yang berselimut, bangunlah pada sebagian malam untuk shalat, separuhnya atau kurangi atau lebihi sedikit dari itu.” [QS Muzammil:1-3]
.
Tahun 1996.

Sepertiga malam. Suara jangkrik lembut bersahut-sahutan dengan tarian batang pohon bambu. Angin dingin sesekali berhembus, menambah harmoni perpaduan bulan sabit dan gunung salak nan anggun. Gelap. Hanya siluet ancala dari cahaya bulan yang redup. Bintang berkilau tampak terang, lebih jelas dari langit Jakarta yang kelabu.
Di kaki ardi, beberapa bangunan menjadi saksi kisah cinta di sepertiga malam. Rania tak pernah menyangka, malam itu akan menjadi malam terindah yang merangkai semua cerita. Cinta kepada Rabb-nya, dan cinta pada seorang makhluk ciptaan-Nya.
Bayu kembali berhembus, bergerak pelan, halus menyapa peraduan Rania dan teman-temannya.
Kamar yang diperuntukkan untuk empat orang ini tidak berpendingin udara atau kipas angin, tetapi masya Allah …, dinginnya menusuk tulang. Rania sampai harus memakai jaket di bawah selimut tebalnya. Entah kenapa dingin sekali malam ini. Ia membolak-balikkan badan. Meringkuk dan menggenggam, mencoba menambah kehangatan. Wajah saljunya terlihat memerah di bawah cahaya temaram yang berasal dari jendela. Cantik.
Perlahan matanya terbuka. Melihat weker mungil hadiah ayah yang sangat dikagumi. Pukul tiga pagi. Setengah sadar, Rania bangkit dari tempat tidur, berdoa dan secepat kilat menggosok kedua tangan, mengais kehangatan. Sebentar lagi Tahajjud bersama di masjid akan dimulai.
Kekuatan azam tidak membuatnya kembali lelap saat alarm memanggil. Ketika yang lain masih terlelap, ia sudah beranjak dari hangatnya kasur dan ber-wudhu. Air sedingin salju menyapa kulit putih nan lembut Rania. Suara gemericik, bercicitnya keran, menambah rasa indah yang akan ia rasakan. Ya, ini malam istimewa baginya. Tahajjud pertama jauh dari rumah.
“Zi … Zizi … bangun….“ Rania menggoyang bahu Zizi pelan. Selesai wudhu ia kembali ke kamar untuk membangunkan sahabatnya. “Zi … sudah mau mulai Tahajjudnya.”
Zizi bergumam tidak jelas. Masih dalam pengaruh mimpi.
“Zizi…. “ Rania mencoba sekali lagi. Kali ini lebih kuat goncangannya.
“Hmmm….“ Mata Zizi mulai terbuka. Ia mengerjap beberapa kali sembari menajamkan pandangan. “Rania…?”
“Bukan ..., bidadari.” Rania tersenyum simpul. Sahabatnya itu masih belum sadar sepenuhnya.
Zizi beranjak duduk dengan mata setengah terpejam. “Jam berapa?”
“Lima menit lagi Tahajjud dimulai.”
Kontan manik Zizi terbuka lebar. “Apa?! Kok aku nggak dibangunin?” protesnya seraya meraih jam tangan yang ia letakkan di dekat bantal. Benar saja, sebentar lagi shalat dimulai.
“Ck ck ck... Udah dari tadi, kali. Aku duluan ke aula. Nanti kamu nyusul, ya.” Rania meraih mukena dan sajadah yang sudah ia siapkan di ujung petiduran.
“Siapin tempat buat aku, ya,” pinta Zizi seraya bangkit berdiri.
“Insya Allah.”
Rania berjalan keluar kamar dengan dada bergemuruh. Ini kali pertama ia mengikuti daurah dan bermalam. Selama delapan belas tahun umurnya, tidak pernah Ayah mengizinkan untuk menginap di luar. Rania seperti wanita yang dipingit yang tak pernah tahu dunia luar. Ayahnya termasuk protektif, ia perlu usaha super keras untuk membujuk.
Rania terbayang saat mengambil hati ayahnya. “Rania nggak sendirian, Yah. Banyak akhwat lain yang ikut. Ada pengawasan dari ustadz dan ustadzah juga. Lagian daurah ini sifatnya wajib untuk mahasiswa yang mau masuk rohis di kampus. Cuma tiga hari, kok.” Rania berusaha membujuk ayahnya seminggu yang lalu. “Boleh, ya, Yah?”
Setelah meyakinkan berhari-hari, alhamdulillah upayanya berhasil. Ayah membolehkan dengan banyak wejangan juga ikatan janji. Apa pun itu, yang penting ia bisa ikut. Ini malam pertama pelatihan. Ada sekitar dua ratusan orang yang ikut. Panitia menyewa villa di daerah Puncak. Lokasinya cukup luas dengan fasilitas lengkap, udaranya sejuk, dan airnya seperti baru keluar dari kulkas. Allah… ia sampai gemetar.
Rania berbarengan dengan akhwat lain menuju aula untuk melaksanakan Tahajjud berjamaah. Mukena-mukena putih berkibar, laksana para santri yang siap mereguk iman. Masya Allah, indahnya …, batin Rania menikmati pemandangan yang tak akan pernah terlupakan.
Diterangi cahaya bulan, terlihat hanya akhwat dan telekungnya, sepanjang perjalanan tidak ada ikhwan, karena lokasi penginapan mereka terletak di sisi yang berbeda.
Hembusan angin di pagi buta menyapu wajah, membuat Rania menggigil dengan gigi gemeletuk. Ia menggosokkan kedua tangan, berharap bisa memberi kehangatan. Allah. Mudah-mudahan Engkau catat ini sebagai perjuangan dalam beribadah kepada-Mu, lirihnya dalam hati.
Ketika menginjakkan kaki di aula, Rania merasa lebih hangat, Alhamdulillah. Ia mengambil tempat di bagian depan, sengaja memilih di sudut untuk menyisakan sedikit ruang bagi Zizi. Ada hijab tinggi yang memisahkan jamaah akhwat dan ikhwan. Mereka tidak bisa melihat satu sama lain. Tampak sekali panitia menjaga dari mudharat-nya berkhalwat
Tidak lama Rania melihat Zizi masuk. Ia melambai, memberi isyarat kepada sahabatnya itu untuk mendekat. Zizi melewati beberapa akhwat hingga berada di dekat Rania.
“Subhanallah, airnya dingin banget, Ran.” Zizi gemetar. “Kayaknya aku nggak kuat kalau harus mandi.”
Rania tersenyum kecil. “Udah jangan mengeluh. Siap-siap, sebentar lagi mau mulai.”
Tidak lama panitia ikhwan mengumumkan bahwa Tahajjud segera dimulai. Dua ratusan jamaah siap mereguk hidayah di aula yang bersahaja. Kebanyakannya adalah mahasiswa baru. Rohis MIPA memang terkenal selalu sukses mengadakan acara seperti ini. Maba, istilah untuk Mahasiswa baru, banyak yang tertarik mengikutinya. Bukan acara wajib kampus, tetapi pendekatan sudah dimulai sejak hari pertama orientasi kampus.
Rania bangkit berdiri. Ia menarik napas dalam. Memusatkan pikiran untuk menghadirkan hati. Tahajjud adalah kebiasaan orang-orang shalih terdahulu. Ibadah yang menjadi penutup kesalahan dan penghapus dosa. Ibadah yang diberi ganjaran surga. Ibadah yang istimewa.
Saat yang lain terlelap dalam tidur dan terbuai di alam mimpi, ada sebagian orang yang bangun dan berwudhu lalu menegakkan shalat. Berharap bisa bertemu dengan Rabb-nya di sepertiga malam, saat Allah turun ke langit dunia. Dia mengabulkan hamba-Nya yang berdoa. Dia memenuhi hamba-Nya yang meminta. Dia mengampuni hamba-Nya yang memohon ampunan.
Hati Rania bergetar ketika imam mengucapkan takbiratulihram. Seketika hening. Hanya helaan napas teratur yang terdengar. Doa-doa iftitah terlantun lirih, memulai suasana khusyuk yang menyatu dengan dinginnya cuaca Puncak.
“Bismillahirrahmanirrahim.”
Rania tercengang ketika imam memulai ayat pertama surat Al-Fatihah. Suaranya lembut membuai. Ada energi magis yang tak pernah dirasakan Rania. Bulu kuduknya merinding. Ketika imam melanjutkan ke ayat selanjutnya, ia semakin terpukau. Bacaannya tartil dengan langgam yang mengalun. Belum pernah Rania mendengar lantunan semerdu ini. Suara imam membantu suasana hatinya khidmat.
Selesai ummul kitab dibacakan, surat Ar-Rahman dari pengeras suara memenuhi setiap sudut aula. Membius hati-hati yang tengah bermunajat kepada Rabb-nya. Membuat sesak. Suara imam begitu syahdu, menyebabkan keharuan menyelusup ke relung kalbu. Dalam sekali.
Air mata Rania menggenang. Ia mengerjap. Bulir bening yang tertahan kini jatuh. Satu demi satu.
“Fabiayyi alaai robbikumaa tukadzibaan.”
Maka nikmat Rabb-mu yang mana yang engkau dustakan?
Ia mengingat betapa diri belum menjadi hamba yang bersyukur. Begitu banyak nikmat yang Allah berikan kepadanya, namun begitu sedikit balasan yang ia serahkan. Astaghfirullah. Ampuni hamba, ya Allah, tangisnya dalam hati.
Ini memang surat favorit Rania. Ia sering menangis merenungi kalimat demi kalimat ketika membacanya saat sendirian. Apalagi ini dibacakan seorang imam dengan lantunan mendayu.
Bukan hanya Rania yang larut dalam suasana. Semua jamaah terenyuh. Isak kecil berubah menjadi tangis menderu.
“Haadzihi jahannam … haadzihi jahannam….”
Ya Allah, tangisan tumpah ruah, sang imam membaca ancaman Allah itu berkali-kali. Rania bergetar. Merasa bahwa ancaman itu ditujukan padanya. Kufur nikmat akan berbalas siksa dari sang Pencipta. Terdengar sesenggukan suara imam, sering tertahan, lalu melanjut ke ayat-ayat yang merinci surga.
Rania menyeka pipi dan hidung yang basah. Isak jamaah semakin lama terdengar jelas, bagai lebah yang bergerombol, berdengung kuat, bergema di segala penjuru aula. Membuat siapa saja yang mendengarnya merinding dan ikut hanyut.
Ketika sujud tangis Rania tak terbendung, ia seperti anak kecil yang meratap ketika berbuat salah. Ia ingat dosanya. Ia ingat maksiat yang dilakukan. Ia takut Allah mengambil ketika bekalnya belum cukup. Ia mohon ampun. Ia berjanji tidak akan mengulangi. Ia taubat.
***
Selesai salam Rania menyeka wajah dengan ujung mukena. Satu jam Tahajjud tidak terasa. Netranya menatap wajah-wajah sembab, termasuk Zizi, sahabat hijrahnya sejak masih berseragam putih abu-abu. Tangan merenggang satu demi satu, lalu pelukan hangat mendarat di punggung saudara seiman. Saling merengkuh. Tangis haru menghias sepertiga malam tersyahdu, terkhusyuk, yang pernah Rania rasakan. Hati terpaut dengan Sang Pemilik Alam. Apalagi bacaan imam yang menggetarkan jiwa dan membawanya ke dunia lain.
Betapa indah bacaannya. Siapa gerangan? Ustadz dari mana? Rania penasaran.
Tuturan bagai buluh perindu. Ia tidak akan pernah melupakan suara itu. Indah. Bagai lantunan dari surga.
***
“Lagi mikirin apa, Ran?” tanya Zizi melihat sahabatnya termenung di atas kasur. Mereka baru saja selesai menyimak tausiah di aula setelah Isya berjamaah. Panitia meminta peserta untuk tidur cepat agar tepat waktu bangun Tahajjud malam kedua.
“Eh, nggak.” Rania sedikit kaget. Padahal ia sedang memikirkan siapa yang menjadi imam shalat Tahajjud malam sebelumnya.
“Yakin?” canda Zizi.
“Yakin.” Rania memasang wajah serius.
“Masih penasaran sama imam Tahajjud semalam?” tebak Zizi.
Rania mendengus. Ia memang sempat curhat kepada Zizi tentang rasa ingin tahunya. “Udah, ah, tidur. Nanti telat bangun, lagi.” Ia merebahkan tubuh di kasur.
Zizi merengut. Ia mengikuti gerakan Rania dan menarik selimut.
Dari lisan Rania mengalir ayat Kursi dan tiga surat terakhir dalam Al-Qur’an. Amalan sunah yang tidak pernah ia tinggalkan sebelum tidur setelah sebelumnya ber-wudhu. Ketika selesai, ia meniupkan ke tangan lalu membasuh wajah dan bagian tubuh yang terjangkau. Terakhir membaca doa dan menguatkan niat untuk bangun Tahajjud dini hari.
Tak sabar, ingin kembali mendengarkan suara imam dan bermunajat kepada Sang Pemilik Malam.
***
Rania memandang keluar jendela seraya bertopang dagu. Bus melaju dengan kecepatan sedang di tengah gerimis, membawa peserta akhwat yang mengikuti daurah kembali pulang. Tiga hari dua malam yang tidak akan pernah ia lupakan.
“Ngelamun lagi?” tuduh Zizi seraya menyenggol bahu sahabatnya.
“Eh, nggak,” jawab Rania cepat. Ia tidak melamun, hanya … merenung.
“Kenapa? Masih penasaran sama sang imam?
Rania melirik Zizi sekilas. “Nggak.” Iya, dia masih penasaran.
Semalam Rania bangun tepat ketika alarm berbunyi. Ia langsung terjaga dan membangunkan teman-teman satu kamar. Setelah berwudhu dan memakai mukena ia bergegas hendak menuju aula, tetapi langkah kaki terhenti ketika salah seorang panitia akhwat mencegahnya.
“Peserta akhwat Tahajjud sendiri ya, tidak bareng ikhwan”
Tidak bareng ikhwan? Artinya? Yaah.... “Baik, Mbak,” ujar Rania lemas. Ia melangkah gontai ke ruang yang disiapkan panitia akhwat.
“Loh, kirain udah ke aula?” sahut Zizi ketika berpapasan.
“Tahajjudnya dipisah, nggak di aula. Kita Tahajjud-nya di sana” tunjuk Rania ke sebuah ruang yang lebih kecil.
“Ooo…. “
Jamaah permepuan berbaris rapih. Imam dari kalangan akhwat. Kakak kelas. Rania berusaha menghadirkan hati ketika Tahajjud dimulai. Setiap terngiang suara itu, ia berusaha mengalihkan. Luruskan niat, Rania, luruskan niat, ingatnya dalam hati. Bersyukur saja masih diberi kesempatan untuk Tahajjud, siapapun imamnya.
Tapi masih saja setan menggoda. Lantunan malam pertama itu kembali hadir, menyuarakan surat Ar-Rahman dengan indah dan tartil. Rania masih berharap dipimpin oleh imam yang sama.
Selain rasa lezat shalat berjamaah, Rania merasakan getar yang aneh. Entah apa. Ia dari keluarga qori, walaupun ayahnya dosen Teknik, tetapi mengajarkan bacaan Al-Qur’an yang indah. Kakeknya bahkan memiliki pesantren para qori. Pamannya juga menjadi juara lomba Musabaqoh Tilawatil Qur’an mahasiswa tingkat nasional.
Wajar Rania menyukai bacaan yang indah, tetapi ini lebih dari sekedar itu. Ada rasa kagum yang dalam. Sampai saat pulang ia masih berharap bisa mengetahui, siapa gerangan?
“Udah, Ran,” celetuk Zizi. “Nggak usah dipikirin. Ingat tujuan awal kita daurah ini untuk apa?”
Rania menarik napas. “Aku nggak mikirin, kok. Cuma kepingin tahu aja.”
Zizi tersenyum lebar seraya mencubit kecil pipi putih Rania yang kemerahan. “Sama aja, kali.”
Hening beberapa saat. Rania mengembalikan pandangan ke jendela yang berembun. Bus melaju menerobos gerimis.
“Tapi… ustadz mana, ya? Apa senior tingkat akhir?” Zizi berkomentar.
“Nah, kan!” Rania menoleh dengan perasaan senang karena sahabatnya itu juga penasaran. “Menurut aku, sih, ustadz. Soalnya suaranya dewasa, gitu.”
“Sok tahu!”
Rania mencebik. “Lihat saja nanti, siapa di antara kita yang benar.”
“Emangnya kamu mau mencari tahu?” Mata Zizi menyipit.
Rania hendak mengangguk, tetapi ragu. “Nggg … nggak tahu, deh.”
“Gimana kalau kita tanya sama Mbak Nisa aja?” usul Zizi seraya melongok ke bagian belakang bus, mencari Nisa.
“Ih, apaan, sih!” Rania menarik lengan Zizi, mencegah dari melakukan sesuatu yang bisa membuatnya malu. “Nggak usah,” elak Rania. Nisa adalah senior mereka di keputrian rohis. Zizi mendengus. “Yakin nggak mau tahu?”
Rania tersenyum simpul. Ia kembali menatap gerimis yang berubah menjadi deras melalui jendela. Dingin … ia merapatkan jaket. Benaknya mendidik diri, bersyukur atas tiga hari yang indah, bersyukur atas banyaknya ilmu yang didapat dalam daurah ini, bersyukur atas Tahajjud yang syahdu.
Walaupun kepergian ini melahirkan misteri…. Sekarang ia belum tahu siapa pemilik suara, tetapi suatu hari pasti akan bertemu. Entah kenapa hatinya seyakin itu. Subhanallah, istighfar, Ran, batinnya.
*****

Info Novel Rania

Ketika seorang perempuan dan Laki-laki yang memegang teguh Agamanya jatuh cinta

Ingin Tahu Isi Novel Rania? Semua Dibongkar di sini

Jadi Ketika Sujud Panjangmu Menjadi Jawaban Dari Ke-GALAU-an Mu